Nenek Misterius

Sudah selama sebulan aku menjadi koordinator kelurahan benteng, dan selama itu aku sering bertemu dengan seorang nenek tua renta, setiap kali aku ingin ke kantor kelurahan pasti selalu bertemu dengan beliau, maklum rute ke kantor kelurahan harus melewati kuburan tempat si nenek bekerja sebagai penjaga makam.
“Mau ke kantor kelurahan lagi Nak?” tanyanya.
“Iya Nek mau ke kantor kelurahan,” sahutku dan memberikan salam takzim kepadanya.
“Hati-hati Nak,” sahut sang nenek kepadaku.
Bulan september di kelurahan ini begitu terik dan panas, banyak tumbuh-tumbuhan mulai layu, tapi tidak sedikit yang masih betahan, termasuk semak belukar yang merimbuni kuburan yang selalu dipangkas si nenek. Pertemuan pertamaku dengan sang nenek terjadi ketika kami menjalani observasi demi keperluan penyusunan program kerja, ketika itu kami melewati kuburan yang sering dijaga si nenek, saat itu aku menghentikan langkahku melihat nenek tua yang sedang menyapu dedaunan yang rontok dan berjatuhan.
“Kenapa berhenti Firman?” tanya Yuyu kepadaku, perempuan dengan potongan rambut pendek dan berdandan ala pria, perempuan yang tomboi, namun kecantikannya masih terpancarkan. “Andi Hilman Firman Khadri, halloo kenapa melamun?” Yuyu mengibas-ngibaskan tangannya ke hadapan wajahku.
“Oh..Tidak apa-apa,” sahutku.
Setelah seminggu kami melakukan observasi, malam harinya kami mengadakan rapat untuk menyusun program kerja, kami menyepakati 7 buah poin program kerja yang akan diseminarkan pada keeseokan ahrinya.
“Selamat pagi para warga sekalian, terima kasih telah menyempatkan hadir dalam seminar pemaparan program kerja mahasiswa KKN Makassar College di kelurahan benteng, ada 7 program kerja yang rencana kami jalankan,”
Pagi itu seminar program kerja berjalan lancar, ke semua point yang kami tawarkan disetujui, rencana pendek di bulan september menyelesaikan 4 point program kerja, pertama mengajar di sekolah dasar, kedua pembuatan papan jalan, ketiga mengadakan pertandingan bulu tangkis dan keempat pembuatan papan tanda lokasi kuburan/pemakaman. Pekan kedua hingga pekan ketiga di bulan september kami telah menyelesaikan dua program kerja, mengajar di SD dan memasang papan jalan di seluruh sektor kelurahan, ketika aku memasang tanda jalan di dekat kuburan aku mendapati si nenek yang sedang menyapu di kawasan kuburan, ia tersenyum dan memberikan salam takzim, aku membalasnya sebagaimana adat dan kebiasaan orang timur.
“Sebentar tunggu di sini,” sahutku kepada Yuyu.
“Hei mau ke mana kau Firman, pekerjaan di sini belum selesai?!” teriaknya.
Aku tak menghiraukan teriakan Yuyu dan hanya berlari kecil menuju nenek yang sedang membersihkan makan dari rimbunnya daun-daun yang berguguran.
“Nenek sudah makan?” tanyaku pada nenek yang sedang menyapu dedaunan yang berguguran.
“Belum Nak, belum ada uang,” sahutnya sambil menyapu dedaunan ke tepian pagar pemakaman.
Aku merogoh jaket oranyeku dan menyerahkan sebungkus roti dan beberapa lembaran lima ribu. “Ini untuk Nenek,”
Si nenek kemudian mengambil sebungkus roti dan beberapa lembaran uang lima ribu. “Terima kasih Nak,” kemudian ia berjalan menuju sebuah pohon besar yang rindang, duduk di atas batu, dibukanya sebungkus roti yang telah ku berikan dan memakannya dengan lahap.
Keesokan harinya aku membungkus nasi, lauk, dan mengambil sebotol air mineral, bermaksud memberikan kepada si nenek penjaga makam.
“Firman kamu mau ke mana?” tanya Yuyu yang mengenakan celana olah raga sebatas lutut dan t-shirt berwarna putih.
“Mau ke kuburan, kasih makan si nenek penjaga makam, kasihan aku lihat,” sahutku dan berlalu meninggalkan posko. Hanya butuh 10 menit berjalan kaki menuju kuburan yang biasa dijaga si nenek.
“Nenek, ini ada makanan sekadarnya untuk Nenek,”
“Makasih Nak,” sahutnya.
“Nek, sudah lama jadi penjaga makam?” tanyaku.
“Lama sekali Nak, aku menjadi penjaga makam ketika mendiang suamiku menjadi korban westerling,” nenek itu kemudian mengajakku ke salah satu pusara makam.
“Di sinilah Nak pembaringan suamiku, aku masih beruntung jasad mendiang suamiku dapat dikuburkan,” ku lihat nenek menatap pusara suaminya, ku lihat air matanya menetes melalui sudut matanya. “Setelah suamiku gugur, aku sendiri tak punya apa-apa selain gubuk tua di dekat-dekat kawasan makam ini, dan karena aku tidak punya kemampuan atau keterampilan aku memutuskan menjadi penjaga makam, dari makam inilah aku menyambung nyawa melalui belas kasih warga yang berziarah dan intensif dari kelurahan,”
Aku hanya menatap nestapa wajah nenek yang lebih pucat hari ini, ku lihat di samping pusara makam mendiang suami nenek si penjaga makam ini terdapat makam yang masih basah, mungkin beberapa hari lalu ada warga kelurahan yang berpulang. Pekan keempat bulan september tepatnya tanggal 30 ku lalui dengan membuat penanda pemakaman, salah satunya akan ditanam di makam yang sering nenek si penjaga makam. Sial batinku tidak pernah menanyakan nama si nenek penjaga makam.
“Firman apa sudah pas ditanam di sini?” tanya Yuyu yang sedang menancapkan tiang penanda makam.
Aku mengangguk, “Iya pas, oke tanam sudah,” kami bersama-sama menanam papan penanda makam tersebut, di saat kami menanam tanda makam tersebut ku lihat seseorang dalam balutan jaket oranye sedang mengendarai sebuah motor, aku menghentikan sejenak kegiatanku dan berdiri memandangi motor tersebut yang perlahan-lahan mendekati kami.
“Bagaimana kabarmu Pak Korlur?” sahut pria itu yang kemudian melepaskan helmnya.
“Kau Pak Korlur Jusman rupanya. Kabar baik, kamu lihat sendiri kami sedang mengerjakan proker,” sahutku dan kemudian menyalami Pak Korlur.
“Pak Korlur mau ke mana?” tanyaku pada Jusman.
“Kebetulan ada undangan warga, makan siang, terus mau pulang aku ke posko,” sahut Jusman yang mulai mengenakan helmnya kembali.
“Oke deh salam buat teman-teman di Kelurahan Baranti,” Pak Korlur Baranti pun melesat meninggalkan kami. Sejenak aku melihat-lihat keadaan makam yang nampak rapi dan bersih, nenek si penjaga makam pasti bekerja keras dalam membersihkan makam ini gumamku dalam hati.
“Mana Nenek si penjaga makam yah?” sahutku.
“Kenapa Firman mencari sesuatu?” tanya Yuyu yang melihat lagak ku celingak-celinguk mencari sosok nenek si penjaga makam. “Oh tidak aku sedang mencari Nenek si penjaga makam, nenek tua yang sering aku temui jika melewati makam ini,” Yuyu hanya menatapku heran ketika aku mengutarakan maksud dari lagakku tadi.
“Setahu aku Firman makam ini tidak ada yang jaga, kamu pasti salah lihat deh,” Yuyu kemudian menepuk pundakku. Di saat yang bersamaan telingaku menangkap suara yang memanggil dari kejauhan “Firman, Yuyu ke sini sebentar,” Kami menoleh ke sumber suara yang rupanya bapak sekertaris kelurahan, di ajaknya kami menuju kantor kelurahan untuk santap siang.
“Maaf Pak aku mau bertanya, nenek yang selalu menjaga kuburan itu di mana yah Pak, kok aku tidak lihat tadi?” tanyaku pada sekretaris lurah yang sedang menikmati hidangan nasu palekko (makanan khas kabupaten sidenreng rappang).
“Nenek? Nenek yang mana, dan kuburan yang mana kamu maksud?” sekretaris lurah balik bertanya padaku.
“Aku lupa menanyakan nama Nenek tersebut, tapi biasanya aku ketemu Nenek tersebut kalau mau ke kantor kelurahan,” pak sekretaris lurah menatapku dengan tatapan penuh kebingungan. “Kan kalau dari posko ke kantor kelurahan lewat kuburan, yah Nenek penjaga kuburan itu Pak,” sahutku sambil menikmati hidangan nasu palekko, ku lihat pak sekretaris lurah menatap langit-langit lalu memijit-mijit kepalanya mencoba mengingat nenek mana yang ku maksud.
“Hmm…Mungkin yang kau maksud itu indo’ Upe,”
“Entahlah Pak,” sahutku singkat, memang aku tak pernah menanyakan nama nenek itu, aku mencoba mengingat-ngingat lagi pertemuanku kepadanya beberapa pekan lalu.
“Maaf Pak kalau nama suaminya siapa yah?” tanyaku kepada sekretaris lurah.
“Nama suaminya almarhum Ambo Dalle beliau bisa dikatakan pahlawan karena beliau salah satu korban Westerling saat revolusi fisik di Sulawesi,”
“Iya mungkin Nenek si penjaga makam yang kumaksud itu indo’ Upe, sewaktu ketemu beliau aku diperlihatkan pusara makam mendiang suaminya, dan aku ingat betul nisan mendiang suami beliau bertuliskan Ambo’ Upe,”
“Kapan terakhir kamu Pak Korlur ketemu beliau?”
“3 hari lalu,” sahutku. Ku lihat pak sekretaris kelurahan menghela napas panjang dan mengusap-ngusap wajahnya.
“Habis santap siang ini mari kita menziarahi salah satu warga kelurahan yang baru berpulang ke rahmatullah beberapa hari lalu,”
Aku, Yuyu, dan bapak sekretaris kelurahan berdiri menatap papan penanda kuburan yang baru kami tanam, lalu memasuki kawasan pemakaman, ada sedikit aura dingin menyelimut perasaanku, sungguh kontras dengan keadaan siang ini yang begitu terik, kami bertiga menuju pusara yang masih basah, tepat di sebelah pusara Ambo Upe’ ku perhatikan nisan yang tertuliskan di pusara tersebut.
Indo’ Upe
Rappang, 1920 – benteng 26 september 2015
Aku tercengang melihat nama yang tertera di nisan tersebut. “Dek Firman aku tidak tahu apa yang kau lihat 3 hari lalu, apakah itu indo’ Upe atau arwah beliau ataukah kamu salah lihat orang, yang jelas Nenek si penjaga makam itu telah berpulang ke sisiNya,” sahut bapak sekretaris kelurahan benteng. Kami bertiga saling bertatapan dengan penuh tanda tanya, apa sebenarnya yang terjadi, dan siapa yang ku lihat tiga hari lalu. “Mari dek Yuyu dan dek Firman kita mengirimkan al fatihah untuk beliau.”

Komentar

Postingan Populer